Sabtu, 17 Maret 2012

Dilematika Dibalik Jubah Putih

Dilema dialami oleh setiap profesi, tidak terkecuali dokter...

Sebagai seorang mahasiswa kedokteran, idealisme profesi dijunjung mutlak, penyakit harus diobati, sesuai buku ajar baku. Setelah jubah putih dikenakan di dunia nyata, ternyata muncul banyak hal untuk dipertimbangkan.

Permasalahan yang dihadapkan oleh pasien, lebih dari sekedar penyakitnya.

Suatu ketika di sore hari yang dingin oleh hujan tak berujung, datang sepasang tua berpakaian lusuh, seorang diantaranya berjalan terpincang menahan sakit di kakinya. Mbah Slamet, sebut saja demikian nama kakek berambut putih ini, mengeluhkan kondisi kaki kanannya yang mengeluarkan nanah setelah beberapa hari sebelumnya tergores parang cukup dalam. Nanah harus dievakuasi, luka harus dibersihkan, antibiotik dan analgetik perlu diresepkan. Setidaknya demikian yang tertulis di sebagian besar textbook. Penyakitnya teratasi. 

 "Kami hanya membawa uang 10 ribu"

Sebuah kalimat muncul terbata dari pendamping hidup Mbah Slamet. Kalimat yang membawa sebuah permasalahan baru. Obat apa yang bisa diberikan dengan uang sebesar itu. Di satu sisi, idealisme profesi menuntut untuk memberikan obat terbaik bagi kesembuhan pasien. Di sisi lain, klinik sebagai sebuah bisnis tidak boleh dirugikan.

Dilema itu ada untuk mengasah hikmat.

Seketika muncul ingatan mengenai sebuah cerita di masa kecil, sebuah cerita mengenai seorang raja yang penuh hikmat dalam kepemimpinannya. Sang raja dihadapkan pada kasus pencurian yang dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri. Hukum di negara tersebut tegas, pencuri harus dihukum cambuk. Hukum di dunia ini tak kalah tegas, seorang anak wajib melindungi ibunya. Gundahlah hati sang raja, hukum mana yang harus ia terapkan. Disinilah hikmat itu bekerja. Sang raja menanggalkan jubahnya, menggantikan posisi ibunya untuk menerima cambuk hukuman. Sang raja berhasil melaksanakan kedua hukum itu dengan sempurna.

Pasien mendapatkan yang terbaik, bisnis tidak merugi.

Rasa empati memunculkan hikmat. Klinik tetap memberikan perawatan dan obat yang terbaik bagi pasien tersebut. Uang yang diberikan hanya seperempat dari total biaya yang seharusnya dibayarkan. Sisa pembiayaan ditanggung oleh kami bertiga yang bertugas jaga sore itu.

Seorang dokter yang baik bekerja tanpa melupakan fungsi pelayanannya.

Seperti yang pernah dinasihatkan oleh seorang guru saya:
"Seorang dokter yang baik bukanlah hanya dipandang dari kepandaian dan keterampilan, melainkan oleh empati, dedikasi dan integritas yang dimilikinya." 

Jumat, 16 Maret 2012

Kamvrieta, Thanks God.

Kamvrieta.

Hampir tepat setahun gw bikin blog, dan tepat setahun pula gw gak upload tulisan apapun.
Padahal selama setahun ini gw punya banyak hal yang pengen dituangkan dalam kata tertulis, tapi entah mengapa, tiap gue berhasrat buat menulis muncul pula hasrat untuk tidak menulis (bilang aja gak niat).

Pertama bikin blog, gw berharap bisa isi waktu luang. Tapi setelah bikin blog, gw gak punya waktu luang.

Setelah beberapa kali menjadi dokter loncat (kerja shift di beberapa klinik), gw akhirnya diterima kerja di sebuah klinik kecil yang menangani peserta asuransi kesehatan tertentu. Menyenangkan memiliki sebuah tempat kerja yang cukup dekat dengan rumah, jam kerja tidak mengikat, walaupun gajinya pas-pasan. Pas buat mencukupi kebutuhan sehari-hari dan keinginan berbulan-bulan (eaaaaa nyombong dkit :p)

Gw cuma praktik 2 jam di pagi hari dan 2 jam di sore hari, sisanya adalah "ME time".

Awalnya menyenangkan, tapi setelah beberapa waktu terasa membosankan. Seorang pria membutuhkan sesuatu yang lebih menantang. Dan kebetulan gw ini pria.

Terkadang kesempatan datang tanpa kita sadari.

Gw pernah coba kirim lamaran ke beberapa cewek RS, tapi belum ada panggilan wawancara. Malahan gw dapat tawaran kerja dari tempat yang gw gak pernah dengar namanya, sebuah tempat dimana gw bisa mendapat banyak pengalaman sebagai seorang dokter dan seorang pemimpin.

Tempat kerja gw yang baru menawarkan banyak tantangan.

Disini gw dituntut mengelola sebuah klinik sederhana dengan cita-cita besar suatu saat bisa menjadi RS. Cita-cita yang cukup besar mengingat sumber daya yang tersedia cukup terbatas. Tapi, karena itulah namanya tantangan, iya kan? :)

Ini adalah jawaban dari doa gw.

Cita-cita gw pas lagi menempuh pendidikan kedoteran dulu cukup sederhana, bekerja sekaligus melayani masyarakat di tempat gw dibesarkan. Dan disinilah gw saat ini, ditempatkan oleh Sang Pendengar Doa di sebuah klinik kecil yang memiliki visi yang sama untuk melayani masyarakat, dengan jarak tempuh 2 menit menggunakan motor dari rumah gw.

Perjuangan menuntut pengorbanan. No longer "ME time"

Pekerjaan gw purna-waktu, itu risiko menjadi seorang dokter di desa. Kapanpun masyarakat membutuhkan, itu jam kerja anda. Waktu anda merasa memiliki waktu untuk nge-blog, dan pasien membutuhkan anda, disitulah luapan ide menulis mendadak padam entah kemana.

Jadi itu alasan gw mengumpat di awal tulisan ini

Tapi gw akan mengakhiri tulisan ini dengan sebuah ucapan syukur, karena pengorbanan gw dihargai secara layak dengan gaji yang cukup. Cukup untuk membayar angsuran sebuah rumah sederhana bagi keluarga gue kelak.

Thanks God.